Mengenai Saya

Foto saya
Tahun 2010 bersamaan dengan bermulanya cerita baru, setidaknya itulah yang terjadi pada aku. Tahun 2010 banyak membawa hal baru, Begitu heboh sampai aku sendiri takjub, jub…jub…. Anehnya lagi, untuk 2010 ini aku tidak membuat resolusi apa-apa. Just flow like water… pokoknya ada yang berubah deh. Namun di tengah semua kejadian itu, aku ternyata banyak belajar. Belajar untuk ‘melihat lebih’, ‘mendengar lebih’ dan ‘berbicara kurang’. Entah sampai kapan aku akan berdiam sebagai ‘pengamat’. Atas lembar hariku yang setiap hari berganti… Just flow like water, mungkin aku coba dengan ‘mode’ ini dulu deh, siapa tahu memang membawa pembaharuan.

Sabtu, 18 Februari 2012

12 Oktober '11

Sudah ratusan jam kulalui tanpa kabarmu. Cemas, tentunya, tak perlu kau tanya lagi. Apakah aku membuatmu khawatir? Maaf. Tak mampu menjangkaumu bukan berarti aku tak memikirkanmu. Yakinlah.
Seperti saat ini. Gelombang suara berfrekuensi tinggi menggema di gendang telinga. Ramai. Orang-orang tampak bahagia menikmati suasana. Semoga tawa mereka tak palsu, seperti milikku.

Sengaja kupilih bangku paling ujung. Aku hanya ingin menyembunyikan wajah senduku. Tak mau berbagi kesedihan dengan mereka yang sedang dilimpahi tawa.

Sejauh pandang, menjulang beberapa gedung dengan design futuristik. Mereka hampir menyentuh langit. Indah memang. Unik lebih tepatnya. Sayang mereka tak punya nyawa. Tak bisa mengeluh kepanasan saat matahari sedikit sombong membakar bumi. Tak mampu berterimakasih pada awan saat menikmati keteduhan.

Seperti bangunan itu saat aku tanpamu. Terlihat kokoh di luar, namun sebenarnya hampa.

Tak dapat menjangkaumu, rasanya aku perlu mensyukuri itu. Karena akhirnya aku tahu, bahkan satu milidetik yang kulewati bersamamu, ah, aku tak tahu lagi kata apa yang tepat merepresentasikannya selain: “berharga”.

Kopiku tak lagi panas, sepertinya hatiku berkorelasi dengannya. Hujan pun meluruh tanda langit mulai rapuh. Angin membuncah bagai memompa semua gundah. Mungkin hanya alam yang mampu membaca hati.
Kini semua rasa menggelembung menjadi satu, aku namakan itu rindu. Gelembung ringkih yang jika pecah hanya akan jadi airmata.
Dan tahukah kau, menahan air mata lebih sakit daripada menjatuhkannya? Kali ini aku memilih menahannya. Aku pun tak tahu alasannya.

Aku harus segera beranjak karena waktu tak bisa dibajak. Separuh hatiku masih kau tawan, menuntut pembayaran atas rindu yang belum kesampaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar